JAKARTA - Terkait dengan pemberitaan yang mengatakan beras Indonesia termahal di dunia akibat produksi belum efisien, termasuk di dalammnya tentang pemanfaatan subsidi pupuk dan benih, Kementerian Pertanian (Kementan) memberi penyataan tegas bila hal tersebut sangat bias bahkan menyesatkan.
Menurut Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) Kemantan) Suwandi, fakta di lapangan harga beras di negara lain
tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Hasil penelusuran ke pasar tradisional
Cho Tanh Dinh, di Kota Ho Chi Minh, Vietnam pada tanggal 13 Desember 2015
menunjukkan harga beras berkisar 18.000-24.000 vietdong tergantung jenis dan
kualitas nya. Harga beras di Vietnam ini bila dikonversi ke rupiah setaraRp
10.711-14.282/ kg.Untuk diketahui nilai tukar 22.500 vietdong/USD dan Rp
13.389/USD. Di Vietnam juga terdapat beras mahal harga
50.000-147,000 vietdong dan terdapat beras murah Rp 15.000 vietdong.
" Harga beras medium di Vietnam tersebut tidak
jauh berbeda dengan harga beras di Indonesia saat ini berkisar Rp
7.200-13.500/kg tergantung jenis dan kualitas beras nya. Fakta harga
lapangan ini juga mematahkan berita bahwa beras impor dari Vietnam jauh lebih
murah yaitu Rp 6.000-7.000/kg. Apakah terjadi praktek dumping, silahkan dikaji
lebih mendalam", kata Suwandi, Rabu,(24-2-2016)
Suwandi mengatakan, pakar hanya menganalisis secara dangkal dan
menyimpulkan bahwa harga beras Indonesia tinggi akibat proses produksi biaya
mahal. Untuk diketahui harga beras Indonesia tidak mencerminkan harga di petani
sesungguhnya.Mengacu survey Struktur Ongkos Usahatani (SOUT BPS 2014) bahwa
biaya produksi padi sawah Rp 17,17 juta/ha dan padi ladang Rp 10,2
juta/ha. Harga beras Indonesia tidak mencerminkan efisiensi usahatani dan
biaya produksi, melainkan karena dari faktor distribusi, tata niaga, struktur
pasar dan perilaku pasar.
Menurutnya, harga beras konsumen di Indonesia yang dikatakan
“tinggi” bukan karena aspek produksi, tetapi akibat dari: (1) kondisi sistem
distribusibelum efisien, (2) sistem logistik belum tertata, (3) panjangnya
rantai pasok tata niaga 7-10 step, (4) asimetri informasi pasar, (5) kondisi
struktur dan perilaku pasar belum bersaing sempurna dan lainnya. Akibat
dari kondisi tata niaga beras ini adalah: (1) fakta terjadi disparitas harga
antara di petani dan konsumen terlalu tinggi, (2) terjadi anomali harga
berfluktuasi dan cenderung naik, (3) petani sebagai price taker dan pedagang
sebagai price maker, (4) profit marjin yang dinikmati petani terlalu kecil dan
profit marjin pedagang terlalu besar, (5) harga berfluktuasi dan cenderung
naik, (6) konsumen membeli dengan harga mahal.
Selanjutnya pakar berpendapat, kata Suwandi, biaya produksi
padi Indonesia belum efisien. Untuk diketahui sesuai data BPS ARAM-II 2015
menyebutkanproduktivitas padi Indonesia 5,28 ton/ha. Hal ini menunjukkan
petani Indonesia sudah mampu melakukan intensifikasi, menerapkan teknologi,
benih unggul, pemupukan berimbang, mekanisasi, sehingga produktivitasnya jauh
lebih tinggi dibandingkan Thailand 3,13 ton/ha, India 3,66 ton/ha dan Malaysia
3,81 ton/ha(sumber:www.petani-kecil.blogspot.co.id).
Sebagai perbandingan income petani, data olahan
dari IRRI 2014 menyebutkan keuntungan petani padi Indonesia Rp 14,6 juta/ha,
China Rp 14,1 juta/ha, Philipina Rp 13,7 juta/ha, India Rp 8,2 juta/ha dan
Vietnam Rp 7,9 juta/ha.
" Kami menyarankan agar para pakar berhati-hati
memberikan statemen, sebaiknya mencermati data sekunder, mencari data primer
serta menelaah lebih mendalam. Masyarakat menjadi resah akibat berita
yang bombastistetapi tidak didukung fakta lapangan" tutur Suwandi
" Kini bukan waktunya lagi mengomentari data,
tetapi alangkah baiknya apabila kita secara bersama-sama fokus berpikir dan
bekerja keras guna mewujudkan kedaulatan pangan sesuai amanat Nawacita. Selalu
optimis dan yakin bahwa tidak ada masalah sulit yang tidak dapat diselesaikan
guna membela rakyat jelata dan petani kecil", tandasnya